Kajian Penggunaan Energi Terbarukan Tenaga Surya pada Hunian di Indonesia Oleh: Yulita Hanifah 1. Pendahuluan Pertumbuhan urbanisasi diprediksi akan meningkat hingga 60% pada tahun 2030[1]. Selain itu, United Nations Population Division juga memperkirakan urbanisasi akan meningkat hingga 64% untuk negara berkembang dan 86% untuk negara maju pada tahun 2050 [2], sehingga hal ini akan berdampak pada pembangunan hunian di perkotaan. Pesatnya pertumbuhan urbanisasi mengakibatkan tingginya konsumsi energi pada hunian, terutama energi operasional. Menurut ESDM 2018 [3], permintaan energi operasional pada hunian merupakan yang paling tinggi yaitu sebanyak 42% dari seluruh sektor. Permintaan listrik sebagai sumber energi operasional hunian, selalu tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis energi lainnya. Pertumbuhan permintaan listrik, diproyeksikan mencapai 2.214 TWh (BaU), 1.918 TWh (PB), 1.626 TWh (RK) pada tahun 2050 atau naik hampir 9 kali lipat dari permintaan listrik pada tahun 2018 [3]. Porsi terbesar pada sektor listrik, yang merupakan sumber energi utama energi operasional, berada pada hunian. Pola ini selalu terjadi hampir setiap tahun. Walaupun sudah ada upaya penghematan energi dari beberapa peralatan seperti penggunaan inverter pada AC dan penggunaan lampu hemat energi (CFL), namun permintaan energi listrik untuk operasional diprediksikan akan meningkat sebanyak 61% pada tahun 2050 [3]. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan konsep nZEB atau nearly Zero Emission Building. Dalam konsep ini, penggunaan sumber energi terbarukan merupakan salah satu cara untuk mencapai nZEB. Akan tetapi, sampai dengan tahun 2018, kapasitas terpasang pembangkit listrik tahun 2018 sebagian besar berasal dari pembangkit energi fosil khususnya batubara (50%), diikuti gas bumi (29%), BBM (7%) dan energi terbarukan (14%). Perlu adanya perubahan penggunaan energi untuk energi operasional pada hunian, dari energi primer ke energi terbarukan.