Penggunaan kekuasaan dan kewenangan dalam proses penegakan hukum, pada hakikatnya tidak mungkin dilepaskan dengan cara penggunaan kebijaksanaan (discretion) oleh aparat penegak hukum dalam menafsirkan dan melaksanakan aturan hukum yang telah dibentuk. Salah satu bentuk kesesatan berpikir dalam proses penegakan hukum yaitu munculnya fenomena anakronisme dalam rasionalitas sejarah penegakan hukum. Contohnya, suatu upaya pengajuan permohonan upaya hukum oleh terpidana dipandang sebagai suatu upaya untuk menghindarkan diri dari jeratan hukum. Untuk itu, para peneliti menggunakan pertanyaan permasalahan “Bagaimana suatu anakronisme dalam penegakan hukum pidana menjadi habituasi dalam upaya menekan pengajuan upaya hukum dalam proses peradilan pidana?”. Untuk menjawabnya, para peneliti menggunakan jenis penelitian yuridis normatif, model penelitian melalui pendekatan perundangan-undangan (Statute Approach), pendekatan konseptual (Analytical and Conceptual Approach), pendekatan kasus (Case Approach), dan pendekatan filsafat (Philosophy Approach). Hasil penelitian ini adalah Anakronisme akan memunculkan suatu upaya reduksi makna terhadap konteks pengaturan KUHAP yaitu perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam tataran kontekstualisasinya. Anakronisme sebagai penyimpangan dalam setting sejarah akan memunculkan antinomi nilai dalam diskursus penghormatan terhada hak asasi manusia, ketika mengalami objektifikasi. Sehingga, anakronisme tersebut akan menjadi suatu tatanan nilai baru yang berada dalam tatanan nilai yang hendak dibangun oleh KUHAP sebagai narasi tunggal yang menyimpanginya.