Penyidik, baik yang berada dalam institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia maupun yang berada pada institusi penegak hukum lainnya, dalam proses penyidikan memiliki wewenang untuk menetapkan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana sebagai Tersangka, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP. Namun demikian, dalam tataran praktik peradilan pidana, Penyidik memaknai wewenang tersebut, secara absolut, dengan menetapkan seseorang sebagai Tersangka berdasarkan hanya dengan minimum dua alat bukti. Hal tersebut merupakan dampak dari munculnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan (PERMA No. 4/2016) yang memberikan batasan terhadap keterpenuhan syarat formil semata. Berdasarkan hal tersebut, Peneliti mnegajukan permasalahan ―Bagaimana bentuk pelanggaran dari prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang sebagai Tersangka yang merupakan objek permohonan Praperadilan?‖ Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder melalui studi kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menunjukan adanya kewajiban bagi Penyidik untuk memenuhi standar penyidikan dalam proses penetapan tersangka berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, KUHAP dan peraturan internal dari masing-masing institusi penegak hukum.